welcom

Jumat, 11 Oktober 2013



Kamar cinta kita kini sudah kembali menjadi gudang. Rumah ini, yang kamu juga ikut
memperbaikinya dulu, telah usang dan butuh renovasi kedua. Langit-langitnya seringkali bocor
dan merepotkan Bik Inah. Dinding-dindingnya sudah kusam, terutama di bagian garasi, terkena
percikan oli milik adik geng motorku. Noda-noda hitam itu sudah menahun tetapi tidak hilang
dengan sendirinya juga. (Aku memang melarang Bik Inah membersihkannya dengan air sabun
atau minyak tanah. Kalau memang bisa, kataku, biarlah waktu saja yang menghapusnya.)

Tetapi dinding kamar cinta kita masih tampak seperti dulu, hanya berdebu, sebab setelah
kepergianmu tak ada yang pernah mengisi kamar itu selain aku —yang sesekali tidur di sana
saat masih SMA.

Beberapa teman menyarankanku pindah dari rumah tua ini. Menjualnya. Tinggal di tempat yang
lebih masuk akal. Apalagi sekarang aku hidup hanya seorang diri, sementara kelakar mereka,
orang ENTJ butuh keramaian. Aku menolak. Sebab sebetulnya aku adalah orang INFP namun
mereka tidak mengetahuinya. Sebab rumah ini adalah benda kenangan terbesar mengenai
ayah dan mama, yang konyolnya justru tak bisa dipindahkan.

Mengantri di depanku kini, sepasang perempuan paruh baya. Kuintip isi keranjang belanjaan
mereka. Isi keranjang perempuan pertama sama dengan milikku, satu dirigen besar pembersih
lantai. Perempuan kedua membawa dua keranjang yang dipenuhi berbagai macam barang
yang timpa-menimpa. Mungkin dia membeli seisi dunia, pikirku, sementara teman bicaranya
bernasib sepertiku, membersihkan rumah di hari libur.

“Cuma beli Superpel, Teh?”

“Iya, nih, mau ngebersihin rumah. Soalnya pembantu ‘kan pulang kampung.”

“Oh, dibantu si bapak dan anak-anak gitu? Romantis amat.”

“Enggak, mereka main ke kebun binatang. Anak-anak lagi kepingin ke sana.”
Cuma beli Superpel aja, Kak, ujarku kepada diri sendiri; Iya nih, Teh, mau ngebersihin rumah,
soalnya pembantu saya pulang kampung; Oh dibantuin si bapak dan anak-anak gitu; Enggak,
Teh, saya tiga puluh lima tahun, belum punya pasangan, hidup sendirian; Oh si bapak sama
anak-anak ke ke kebun binatang dan membiarkan Kakak bekerja sendirian di rumah macam
pembantu? Enggak, Teh, saya tiga puluh lima tahun, belum punya pasangan, hidup
sendirian….

“Mbak Ayu, ngeborong nih?”

“Hahaha.... Enggak kok, Teh.”

“Gimana keadaan si Mas?”

“Baik. Alhamdullihah.”

“Aduh, jadi kapan ngisi-nya?”

“Aduh, belum tahu, Teh.”

“Gak takut kesepian gitu?”

“Kan berdua, gak sendirian, he-he-he.”

Aku mencelos. Sebenarnya dulu aku juga tidak tinggal sendirian. Setelah kematian mama,
selama hampir tiga tahun aku dan dua sahabatku tinggal bersama dalam satu apartemen,
macam orang-orang gagal saling berkawanan. Aku pernah menduga keluarga imitasi ini abadi
karena kami tidak menikah atau pun kawin. Namun aku keliru. Ternyata hanya akulah yang
mau seperti itu sebab akhirnya kedua sahabatku menikah. Makna perkataanku bukanlah (1)
sahabatku yang pertama menemukan lelaki yang menikahinya di Belanda dan sahabatku yang
kedua menemukan lelaki yang menikahinya di Indonesia. Melainkan (2) mereka menikah.
Pemberkatan dilakukan sebulan lalu pada sebuah gereja Katolik yang sebelumnya tak pernah
kumasuki. Mereka menikah, pikirku sesaat sebelum janji suci. Dua sahabatku, juga pendeta,
juga seluruh dunia, berdiri di depan altar. Mereka menikah dan aku akan menjadi saksi yang
mewartakannya sampai ke ujung dunia. Mereka menikah. Mereka menikah. Mereka akan
punya 10.000 anak.
Mereka kemudian mencicil sebuah rumah di pinggiran kota Bogor. Mereka mengajakku pindah
juga ke sana. Aku menolak dan akhirnya kembali ke rumah orangtuaku di Bekasi, satu-satunya
tempat yang kumiliki. Alasan ekonomisnya: aku tak sanggup membiayai sewa apartemen itu.
Alasan diplomatisnya: apartemen itu terlalu besar untukku seorang diri. Alasan biologisnya: aku
tak mau mengganggu pasangan muda yang dibanjiri cinta. Alasan familiarnya: tidak ada yang
mengurus rumah almarhum orangtuaku setelah pernikahan adik perempuanku. Alasan
psikologisnya (yang hanya kusimpan sendiri): aku merasa kesepian.
***
Kuletakkan ember berisi campuran air dan larutan pembersih. Aku mendorong pintu yang
langsung membuka. Kamar ini tak pernah memiliki kunci. Aku memasukinya, kamar yang kini
menjadi tempat untuk menampung karpet-karpet tua, lemari belajar lama milik ayah, lemari baju
yang menyimpan buku-buku lama ayah (kutemukan buku pelajaran menulis Mochtar Lubis,
novel Gadis Pantai, buku-buku C.S.T Kansil), buku-buku diari mama ketika remaja (kutemukan
kisah-kisah lamanya dengan Nelson dan juga penyakit-penyakit yang sudah dia derita sedari
muda), buku-buku pelajaran SD-ku; dan tentu saja, sisa nafasmu.
Sisa nafasmu seperti rumah ini, pikirku, sesuatu yang tak bisa dipindahkan. Perlahan, aku
menghirup udara dalam kamar. Aku tertegun. Aku bernafas dengan udara yang pernah masuk
ke dalam paru-parumu! Kepalaku tiba-tiba memusing. Aku ingin berbaring. Ketika kucari,
segera kusadari ranjang itu sudah tak ada.
Ya. Aku ingat. Ranjang pegas yang dulu kita pakai untuk berbaring bersama di kamar ini sudah
dibuang karena kucingku melahirkan di atasnya —saat itu kami sekeluarga tengah berkunjung
ke rumah nenek di Kranji. Kucing itu juga sudah lama pergi, mungkin menemukan majikan
baru, atau terlindas mobil dalam satu petualangan liarnya, tanpa kami sekeluarga
mengetahuinya.
Aku ingat, kamulah yang membereskan kamar ini dan mengecat dindingnya. Lalu kamu
memakainya untuk tidur. Sebelumnya kamu tidur di kamar yang dulu dipakai almarhum
pamanku ketika dia menginap, bersama guci-guci yang semuanya akhirnya pecah karena
kesembronoan adik-adikku. Aku ingat pernah lancang memasuki kamar itu ketika kamu tidur.
Kamu berbaring tanpa selimut pada ranjang yang kemudian diwariskan kepada adik
perempuanku, dikelilingi guci-guci yang dibawa ayahku dari Batam, Bangka, Sulawesi, Papua,
dan berbagai tempat yang dikunjunginya. Saat itu kamu seperti lembah dengan semak perdu di
mana gerimis dan angin sejuk berhembus, pikirku —bertingkah seperti seorang penyair.
Berbeda dariku, pegunungan es yang lebih tidak menjanjikan hujan dibandingkan gurun pasir.
Meskipun ternyata kamu lebih seperti lembah di tengah-tengah benua Afrika, yang dulunya
hijau, lama-kelamaan kering, dan berakhir menjadi gurun. Di gurun itu aku tak pernah tersesat
karena kamu tak pernah mengijinkan aku memasukinya.
Selulerku berbunyi. Panggilan dari adik perempuanku.
“Kenapa?”
“Kak, aku main ke rumah ya.”
“Hah? Ngapain. Baru seminggu lalu kamu pergi kok.” (Kamu tahu, seminggu lalu adik
perempuanku menikahi pacar lima belas tahunnya.)
“Aku kangen kamarku, Kak.”
“Nanti penghuninya marah kalau kamu datang.”
“Hah? Penghuni? Kamarku udah dikontrakkan?!”
“Maksudku Mbok Surti.”
“Mbok Surti? Kakak cari pembantu lagi?”
“Enggak. Itu lo yang sering muncul kalau kamu....”
“Ih. Stop. Please deh, Kak.”
“Hahaha.. Kakak cuma bercanda.”
“Ya sudah, aku datang sore, ya!”
Panggilan diputus begitu saja. (Apa kamu dengar apa yang baru saja dikatakan adikku?)
Kamu tahu, aku selalu berharap kamu mengunjungi rumah ini (Bik Inah pun memilih
pulang-pergi setiap hari dari kontrakannya) walaupun nyatanya kamu selalu pergi. Kamu pergi
dari rumah kakak kandungmu untuk bekerja paruh waktu pada renovasi yang pertama rumah
ini. Jadi, kata “kembali” selamanya adalah milik rumah kakakmu itu. Dan memang kamu
akhirnya kembali ke sana, sekalipun pada akhirnya pergi lagi ke tempat yang aku tak tahu
sampai kini. Kamu meninggalkan kakakmu. Kamu juga tidak pernah bilang mencintaiku.
Mungkin kamu lupa (seperti yang dulu kamu selalu katakan, bahwa kamu melupakan hampir
semua hal ketika bersamaku).
“Apa kamu juga melupakan perempuan itu?”
“Siapa? Kakakku?”
“Pacarmu. Pasti kamu sudah punya pacar.”
“Aku belum punya pacar.”
Sampai hari ini aku tak percaya. Kamu memiliki semua hal yang diperlukan laki-laki untuk
mengait hati seorang perempuan, hal-hal yang akan selalu kusimpan sendiri dan tak akan
kubagi dengan siapa pun. Aku tak ingin kamu bernasib seperti dongeng-dongeng, dilupakan
dan perlahan mengalami perubahan karena terlalu banyak diceritakan. Jika aku bercerita
kepada seorang sahabatku, dia tak pernah mengatakan bahwa dia mencintaiku. Maka mungkin
saja sahabatku itu bercerita juga kepada sahabatnya. Tetapi lelaki itu tak pernah mencintainya.
Lalu sahabat dari sahabatku bercerita kepada sahabatnya yang lain, namun lelaki itu tak
pernah mencintainya. Betapa malang nasibnya…. Itu adalah hal yang gila. Aku tercengang oleh
pikiranku sendiri, sebab denganmu aku hanya merasa bahagia. Karena kamu adalah tanah
Tapanuli, kampung halaman orangtuaku, di mana manusia hutan di dalam diriku semestinya
berada.
Aku pernah satu kali pergi ke tanah itu. Saat ini kupikir kejadian itu sangat lucu. Mama
menyebutnya “pulang kampung”. Hah? Istilah apa itu? Kata “pulang” semestinya menunjuk ke
tempat yang pernah kita “tinggali” lalu kita “tinggalkan”. Bagaimana mungkin aku pulang ke
tempat yang tak pernah aku tinggali dan tinggalkan?
 Tetapi kamu pernah meninggali dan meninggalkan kamar ini, juga rumah ini, sehingga
barangkali memang di sinilah tempatmu untuk pulang. Meski kenyataan biasanya jauh berbeda
dari apa yang seharusnya.
***
Aku menjatuhkan diri ke sofa dan menghela nafas. Rumah ini sangat besar, keluhku. Jam
berapa sekarang? Sudah jam tiga sore. Semua mengkilat namun tidak tampak baru. Begitu
hening. Tiba-tiba aku teringat pada ayah.
Pada hari-hari libur, pagi atau pun sore hari, saat rumah sudah bersih seperti ini, ketika ayah
masih hidup, dia selalu menyetel lagu-lagu Batak kebanggaannya. Boru Panggoaran, Boru
Hasianhu, Anak Medan, Anak Naburju
. Ketika dia mengajakku ke toko kaset di Pasar Senen, sementara aku mencari CD Anggun,
Mariah Carey, dan Celine Dion dengan putus asa, ayah justru mencari kaset J-M-T, Nainggolan
Sister, Trio Ambisi, atau Vicky Sianipar. Di mobil, jika di antara keluarga kami ada yang
bertengkar mengenai satu dua hal, ayah akan langsung menyetel lagu-lagu itu. Kini, kapan saja
aku bertengkar dengan siapa pun di mobil, kami akan menghembuskan angin dingin paling
sunyi dalam sejarah penelitian kutub selatan.
Aku ingin menyetel lagu-lagu itu. Tapi di manakah kaset dan semua CD itu sekarang? Aku tak
pernah tahu karena tak pernah menganggapnya penting. Kini aku tak bisa menemukannya.
“Kak! Kakak!”
Suara teriakan yang kukenali sebagai suara adikku terdengar jelas dari depan rumah. Aku
beranjak, menuju pintu, lalu membukanya.
“Hei.”
“Kak, bukain pagarnya dong, kok pake dikunci sih.”
“Mana suamimu?”
“Kak, buka.”
“Dasar bawel,” kataku. Kubukakan pagar untuknya. Dan dalam lima menit kami berakhir di sofa,
duduk berjauh-jauhan.
“Kak,” dia memulai, “udah ke gereja?”
“Enggak ah. Malas.”
“Ih, kok malas? Kakak bukannya pemandu pujian?”
“Malas. Doanya toh gak pernah dijawab.”
“Ih, kok gitu sih, Kak?”
Aku tak menanggapinya. Suasana kembali hening lama. Tiba-tiba, adikku menghela nafas.
“Kakak, ingat lukisan itu?”
“Kenapa? Kok tiba-tiba ngomongin itu?”
“Makin dilihat makin aneh ya, Kak.”
“Hahaha... iya....”
Tentu saja aku ingat. Lukisan batu malaikat itu, kamu yang memasangnya. Ayah membelinya
dari seorang temannya. Kamu memutuskan meletakkannya di sebelah lukisan-jahit Perjamuan
Terakhir ibuku, tempat yang sesungguhnya paling tak cocok baginya. Kamu menjebol dinding
dan menanam lukisan itu sementara aku dan adik perempuanku menontonmu. Secara teori kita
membayangkan itu terlihat spektakuler namun secara praktis ternyata berakhir mengerikan.
Kita semua baru menyadari keganjilan ini setelah penanaman dilakukan. Saat itu suasana
tiba-tiba jadi hening.
Rumah ini juga butuh sedikit keanehan, ayahku berkelakar.
Kita semua akhirnya tertawa tergelak-gelak mendengarnya. Aku memperhatikan wajahmu yang
lega karena perhitunganmu yang keliru tidak menjadi kesia-siaan. Kamu selalu takut menjadi
sia-sia, selalu mengkhawatirkan hidupmu, seperti yang selalu kamu ceritakan kepadaku. Aku
tahu kata “hidup” ini menunjuk pada kata “masa depan”, tetapi aku selalu penasaran apakah
kamu tidak lupa memasukkan “hubungan kita” ke dalam rak pikiran dengan kategori “hidupku”.
Bagiku, kepergianmu telah menjawabnya. Pasti kamu tidak memasukkannya. Atau kamu
memasukkannya, namun kata “kita” tidak mewakili aku dan kamu tetapi mungkin kamu dan
seorang perempuan lain yang tidak kukenal.
Kita tidak bersama karena nama kita sama, pikirku pada hari ketika kamu pergi dan juga
besoknya dan besoknya lagi dan besoknya lagi hingga hari ini, hanya belakangnya dan kita tak
bisa bersama! Semua kesamaan, di dunia ini, cocok untuk percintaan, kecuali jenis kelamin dan
nama belakang.
***
Suatu hari aku tak sengaja bertemu denganmu di pom bensin (yang dijawat menjadi terminal
bus) Setia Kawan. Kamu bersandar di samping sebuah taksi. Aku mencelos. Tentu kamu bukan
pengemudi taksi itu sebab kamu tidak memakai seragam pengemudi taksi. Tentu kamu tidak
menjadi orang-orang yang kamu tak pernah inginkan untuk menjadi —orang-orang yang
mengingatkanmu pada ayahmu. Tentu kamu hanya ada di sana untuk menikmati udara panas
pom bensin. Atau mungkin kamu tengah menunggu seorang gadis yang tampak seperti aku,
namun bukan aku.
Kita saling tatap. Aku mengenalimu. Kamu mengenaliku. Kita sama-sama tidak tersenyum atau
pun melambai. Angin panas berhembus menerbangkan debu. Aku berpaling lalu menjauh.
Kamu tetap diam. Kita secara resmi berpisah. Itu terakhir kalinya aku bertemu denganmu.
Selanjutnya, kamu menjelma kabar-kabar burung.
Ayahku adalah saudara jauh dari ayahmu. Keluarga ayah seperti keluarga gangster, kataku
dulu pada mama, kabarnya selalu datang secara tiba-tiba. Tiba-tiba kita dengar seorang
keponakan ayah masuk penjara. Tiba-tiba kita dengar keponakan ayah yang lain menghamili
teman sekolahnya, lalu menikah, lalu putus sekolah, lalu bekerja, lalu berhenti bekerja, lalu
bekerja, lalu berhenti bekerja, lalu ditinggalkan istrinya, lalu kembali bersama istrinya, lalu tiada
kabarnya lagi sampai kini.
Berbeda sekali dari keluarga mama, lanjutku, padahal sama-sama orang Batak.Jika nama belakangku sama dengan milik ibumu, kamu sebaiknya mencintaiku. Jika dengan
milik ayahmu, aku terlarang bagimu. Akhir cinta kita bergantung pada segala sesuatu yang
berada di awal mula.
Aku selalu mengandaikan jika aku berasal dari keluarga ibumu —Nainggolan— tentu aku akan
selalu tahu kabar tentangmu. Kamu akan masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kamu
akan bekerja sebagai pengacara. Kamu akan lebih berani mengungkapkan cintamu kepadaku.
Kamu akan membelikanku bunga dan meneleponku setiap malam dengan selulermu. Dan aku
tak akan pernah jatuh cinta pada seorang homoseksual, yang tidak mungkin memahami
bahasa hatiku. Aku akan jatuh cinta kepadamu. Hamil di luar nikah. Melahirkan 10.000 anak.
Suatu hari mama memberitahuku bahwa kamu pindah agama, mengikut anak perempuan
penduduk asli kota ini yang akhirnya menjadi istrimu. Dari mana mama tahu? aku terkejut.
Bagaimana bisa? protesku dalam hati. Kamu pernah bilang akan mencintai seorang gadis
pemandu pujian di gereja. Tetapi mungkin kamu merefleksikan masa depanmu dengan
perempuan itu dan mendapatinya lebih cerah. Denganku, semuanya mengabur. Berhubungan
denganku seperti mengenakan selembar sprei tempat tidur untuk berbelanja ke pasar. Sangat
ganjil. Terlalu ganjil. Namun apabila disingkap, semua akan tahu kita telanjang dan memalukan.
Kalau keluarga kita tahu kamu pernah menciumku dan mengisap putik susuku, mereka akan
memenggal kepalamu. Sebab nama belakang kita sama.
“Kak.”
“Kenapa?”
“Ada satu hal yang mau kuceritakan.”
“Apa?”
“Soal Komeng.”
“Sebenarnya dia tak pergi dari rumah atau terlindas mobil seperti perkiraan kita, Kak.”
“Maksud kamu?”
“Mama membungkus dia dan enam anaknya dalam karung lalu membuang mereka di
puskesmas kecamatan.”
Tiba-tiba paru-paruku terasa berat.
Aku seketika membayangkan hidupku jika ayah dan mama tidak meninggal. Jika manusia tidak
menjadi tua. Aku membayangkan hidupku jika James tidak ikut balapan liar motor pada malam
itu. Jika Sylvester Roper tidak pernah dilahirkan. Jika kedua sahabatku tidak pernah menikah.
Jika cinta tidak pernah diciptakan. Jika Komeng tidak beranak di tempat yang salah. Jika
Komeng terlahir sebagai kucing jantan. Jika kamu tidak pernah pergi. Jika nama keluarga tidak
pernah ada….
Tentu saja aku tidak perlu melabeli tempat lain sebagai kampung halaman, tempat yang
kusebut “masa lalu”. Setiap tahun aku bisa pulang ke Tanah Tapanuli, dapat pulang ke hatimu
setiap hari.
“Begitu?”
“Iya, Kak.”
“Maaf ya, Kak. Aku tak pernah berani mengatakan ini.”
“Sudah. Tak apa, Mel.”
Aku merasa semuanya berputar-putar, kenangan-kenangan itu, bertubrukan lalu berhamburan
di kepalaku. (Inikah nasib semua perempuan di dunia ini, seumur hidup menunggu dan
membersihkan rumah di hari libur?) Itu adalah perasaan yang berlebihan, yang sebenarnya
terjadi pastilah hanya Melda yang memeluk lenganku. Tak mungkin lebih dari itu.
“Maaf ya, Kak, maafkan aku untuk segalanya.”
“Aku merasa lenganku basah.”
“Tak apa, Mel,” balasku menenangkannya. Meskipun sesungguhnya aku ingin sekali menangis.
[]
Catatan
 1. ENTJ (Extraversion Intuitive Thinking Judging) dan INFP (Introversion Intuition Feeling
Persuasion) adalah salah satu jenis kepribadian manusia menurut Myers-Briggs. Ada
beberapa orang yang tingkat extraversion dan introversion-nya cukup seimbang
sehingga dia tampak ekstravert meskipun sesungguhnya introvert.
Ditulis oleh Norman Erikson Pasaribu
Rabu, 04 Juli 2012 08:56 - 
 2. Istilah “10.000 anak” diambil penulis dari kalimat yang diujarkan seorang penggemar
yang kelewat bersemangat kepada Bono di sebuah konser U2. Kalimat lengkapnya adalah:
“I want to have, like, 10.000 of your babies!” Kalimat legendaris, namun sayangnya anonim, 
 tersebut berikutnya dipakai oleh Sam Mendes untuk film yang disutradarainya, Amer
ican Beauty
 3. Orang-orang Batak yang memiliki nama belakang (marga) yang sama (Pasaribu dan
Pasaribu tentu saja sama. Namun Pasaribu dengan Matondang, Malau, dan banyak marga
lainnya, juga adalah sama.), sayangnya, tidak boleh menikah

0 komentar:

Posting Komentar